KATA
PENGANTAR
Sebagaiman diamanatkan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Badan
Nasional Standar Pendidikan (BNSP) telah menyelesaikan Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan yang kemudian dikukuhkan menjadi Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Nomor 24 Tahun 2006 tentang
ketentuan pelaksanaannya. Selain itu, berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi
daerah, sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa
pemberian kewenangan otonomi daerah dan kabupaten / kota didasarkan kepada
desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Denga adaya Undang-undang serta peraturan ini pelaksanaan
persiapan untuk penyelenggaraan pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota seyogyanya
berjalan seirama dengan tujuan akhir yang sama. Terlebih jika dikaitkan dengan
peran pendidikan sebagai satu lokomotif persiapan menuju generasi penerus
bangsa yang lebih kompeten.
Pada kesemppatan ini penulis mencoba membuat sebuah
karya ilmiah yang sengaja dibuat untuk membuka cakrawala berpikir penulis
khususya serta bagi yang membacanya. Penulis yakin dalam karya ini masih banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki.
Kepada semua pihak yang telah memberikan konstribusi
sehingga terwujud karya tulis ni, penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya.
Serang, 19 April 2013
Penulis,
Mulkilah
BAB
1
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Paradigma
keberhasilan pendidikan yang berkembang dalam masyrakat saat ini adalah jika
seseorang telah mampu mengaktualisasikan diri dalam dunia kerja atau dunia
usaha baik dengan bergabung dengan dunia usaha maupun dengan membuat sendiri
usaha tersebut. Hal ini tidak terlepa dari pemahaman bahwa Pendidikan merupakan satu unsur
yang sangat dominan dalam mendorong kemampuan dan keterampilan individu dalam
masyarakat. Keterampilan seorang individu mampu memberikan dampak yang positif
terutama jika dikaitkan dalam keberhasilan dalam berusaha atau bekerja. Pendidikan akan dikatakan baik dan berhasil
oleh masyarakat jika produknya dapat diterima oleh dunia kerja dan usaha. Namun
jika yang terjadi pada produk pendidikan adalah kebalikannya (nganggur) maka pendidikan akan dicap gagal.
Munculnya asumsi sosial
bahwa pendidikan mempengaruhi kesuksesan ekonomi seseorang bukanlah suatu
keyakinan spontan yang tidak berdasar. Berangkat dari sebuah trend sosial
masyarakat di Indonesia, misalnya pada awal dekade berkuasanya Orde Baru,
sebagian besar lini pekerjaan membutuhkan tenaga kerja berlatar belakang
pendidikan formal. Hampir mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal mampu
terserap di lahan-lahan pekerjaan. Situasi tersebut memang tidak bisa
dipisahkan dari kebutuhan pemerintah terhadap tenaga terdidik untuk
mengoperasikan skill dan keahliannya dalam rangka industrialisasi dan
modernisasi pembangunan negara.
Sedemikian eratnya
pendidikan jika dikaitkan
dengan pengangguran.
Karena pengangguran dan kemiskinan menjadi
salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu
rumah tangga. Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat Pengagguran di
suatu wilayah lazim digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan
di wilayah tersebut. Dengan demikian, Pengangguran menjadi
salah satu tema
utama pembangunan. Keberhasilan dan kegagalan pembangunan acapkali
diukur berdasarkan perubahan pada tingkat pengangguran
(Suryahadi dan Sumarto, 2001).
John C. Bock,
dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi fungsi
pendidikan dalam bentuk yang
sederhana sebagai memasyarakatkan
ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, mempersiapkan
tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan
sosial, dan untuk meratakan
kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik
pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi (http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting)
Dari kedua fungsi tersebut dapat diuraikan bahwa secara
implisit tujuan pendidikan adalah untuk memberikan perubahan terhadap cara
pandang, tujuan hidup dalam bermasyarakat serta meningkatakan derajat
martabat masyarakat bangsa.
Menurut
pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan
merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan
keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam
proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara
pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan.
Namun dalam praktik serta kenyataan dilapangan,
pendidikan belum mampu membuktikan seluruh aspek yang terkandung dalam
fungsinya. salah satu contoh yang nyata dalam masyarakat kita, begitu banyak
hasil atau produk pendidikan yang tidak match serta tidak dapat
mengaktualisasikan apa yang mereka peroleh selama
mengikuti proses pendidikan dengan apa yang dibutuhkan dalam
masyarakat.. Hal ini
menimbulkan bias antara proses pendidikan dengan realita kebutuhan masyarakat
yang cenderung pragmatis dalam menilai fungsi pendidikan. Bagi masyarakat kita
pada umumnya, pendidikan dianggap berhasil jika sudah mampu memberikan imbalan
yang positif secaa signifikan.
Terlebih jika
dikaitkan dengan kebijakan otonomi daerah yang belum optimal direalisasikan. Dalam skala nasional pemerintah mempunyai beberapa
kepentingan antara lain sejalan dengan isu wajib belajar (Wajar) dan sebagai
upaya mewujudkan salah satu tujuan nasional "mencerdaskan kehidupan
bangsa" (Pembukaan UUD 1945), demikian juga seperti yang tertuang dalam
pasal 31 ayat 1 UUD 1945 tentang hak mendapatkan pengajaran. Persoalan yang
sering muncul adalah bagaimana melalui otonomi daerah, yang besarnya potensi
dan sumber pembiayaan berbeda, dapat menjamin agar tiap-tiap warga negara
memperoleh hak pengajaran. atau bagaimana dengan otonomi daerah tersebut dapat
menjamin bahwa Wajib Belajar pendidikan dasar sembilan tahun dapat dituntaskan
di semua daerah kabupaten/kota dalam waktu yang relatif sama. Isu lainnya
adalah pembentukan "national character building", bahwa otonomi
daerah dilaksanakan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, yang
diharapkan warga negara tetap mengetahui hak dan kewajibannya serta memiliki
jiwa patriotisme, religius, cinta tanah air, dan seterusnya. Persoalannya, bagaimana
pendidikan dapat mengamankan program pendidikan dengan memberikan peluang
kreatifitas dalam keragaman daerah, tetapi semuanya mengarah secara sentripetal
ke kepentingan nasional melalui muatan yang sama dalam upaya ke arah
pembentukan "national character building" tersebut.
Berdasar
dari hal-hal
tersebut penulis melihat bahwa perlu
cara serta pemkiran yang matang terkait
pendidikan yang dilaksanakan di masing-masing daerah serta konsep pengentasan pengannguran di masyarakat.
Sehingga permasalahan penganguran ini bisa diminimalisir beberapa waktu ke
depan.
Hal inilah yang
mendorong penulis untuk membuat sebuah karya ilmiah dengan judul “Optimalisasi
Otonomi Daerah, Kurikulum dan Pembelajaran “Life Skills Education” sebagai Multi Vitamin Wira Usaha Pengentas
Penganguran”
2. Permasalahan
Pendidikan yang
dilaksanakan selayaknya
memberi andil yang cukup besar terhadap upaya dalam upaya peningkatan
kualitas suatu bangsa termasuk di dalamnya pengentasan pengangguran. Karena pada dasarnya pendidikan dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan
pendapatan. Dalam upaya penanggulangan
pengangguran sering
muncul istilah “pemberdayaan serta peningkatkan kemampuan untuk melakukan
usaha (UU No. 25 Tahun 2004 tentang Propenas). Disinilah permasalahan muncul.
1.
Melalui
otonomi daerah, bagaimana seharusnya pendidikan disiapkan?
2.
Bagaimana Konsep dan proses pendidikan daerah dan nasional agar mampu
mengurangi angka pengangguran di Serang-Banten pada umumnya serta di Indonesia
pada umumnya?
3.
Kerangka berpikir seperti apa
yang bisa mengentasan pengangguran?
4.
Bagaimana solusi yang tepat agar
pendidikan mampu menunjukan eksistensinya dalam mengentaskan pengangguran?
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas,
pertanyaan penelitian yang diajukan adalah ”Bagaimanakah Seharusnya Otonomi Daerah dan Pendidikan Dijalankan Demi MengentaskanPengangguran di Banten?”
3. Tujuan
dan Sasaran Karya Ilmiah
Memberikan
masukan terkait optomalisasi otonomi daerah serta langkah-langkah pendidikan dalam mengurangi
pengangguran di Indonesia-Banten khususya Dinas Pendidikan serta Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja dalam membentuk
kerangka berfikir terkai program pengentasan
pengangguran.
4. Metode
Penelitian
Pada penyusunan karya ilmiah kali ini,
penulis menggunakan metode studi pustaka serta literatu-literatur terkait.
5. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan Karya Ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab
ini berisi latar belakang; rumusan masalah; tujuan, sasaran dan manfaat penelitian; dansistematika
penulisan.
BAB II. KAJIAN TEORETIS. Dalam bab
ini dikemukakan
teori otonomi daeah, Pendidikan
dan Pengangguran yang meliputi: definisi Otonomi
daerah, pendidikan, Paradigma
baru dalam pendidikan dan pengangguran, jenis Pengangguran dan penyebab Pengangguran,
BAB III. PEMBAHASAN.
Dalam
bab ini dibahas deskripsi dan analisis strategi Otonomi
daerah, pendidikan
dan upaya-upaya pengentasan pengangguran.
BAB IV KESIMPULAN. Dalam bab ini berisi simpulan
dan rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB
II
KAJIAN TEORITIS
A.
Definisi
Otonomi Daerah
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun
2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak ,wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61) mengartikan otonomi daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sesuai dengan penjelasan
Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah dan
kabupaten / kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab.
a.
Kewenangan Otonomi Luas
Yang dimaksud dengan kewenangan otonomi luas adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua
bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiscal agama serta kewenangan dibidang lainnya
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Disamping itu keleluasaan
otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan
mulai dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
b.
Otonomi Nyata
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada
dan diperlukan serta tumbuh hidup dan berkembang di daerah.
c.
Otonomi Yang Bertanggung Jawab
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang sehat antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga Keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9
tentang Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem hubungan antara pusat dan daerah
yaitu :
- Desentralisasi
yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
- Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu
- Tugas
perbantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa
atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung jawabkan
pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
1. Daerah
Otonom
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun
2004 pasl 1 ayat 6 menyebutkan bahwa daerah otonomi selanjutnya disebut daerah
adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Profesor Oppenhein (dalam
Mohammad Jimmi Ibrahim, 1991:50) bahwa daerah otonom adalah bagian organis
daripada negara, maka daerah otonom mempunyai kehidupan sendiri yang bersifat
mandiri dengan kata lain tetap terikat dengan negara kesatuan. Daerah otonom
ini merupakan masyarakat hukum yaitu berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
2.
Hakekat, Tujuan dan Prinsip Otonomi
Daerah
a.
Hakekat Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah pada
hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan
kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang
berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan,
pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan
pemerintah dan pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat
dibututuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis
dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran
statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun
pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama
untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat
kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
b.
Tujuan Otonomi Daerah
Menurut Mardiasmo (Otonomi dan
Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Untuk meningkatkan pelayanan publik (public
service) dam memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi
utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:
- Meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
- Menciptakan
efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
- Memberdayakan
dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan.
Selanjutnya tujuan otonomi daerah menurut penjelasan
Undang-undang No 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah
diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan
kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat
secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah
yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.
B.
Definisi Pendidikan
Dalam perspektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan
dan dimaknai orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang
masing-masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran
pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat
semakin memperkaya khazanah berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan
teori itu sendiri.
Tetapi untuk kepentingan kebijakan nasional, seyogyanya
pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan mudah dipahami oleh semua
pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat
mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap praktik pendidikan.
Untuk mengatahui definisi pendidikan dalam
perspektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan
operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang
SISDIKNAS, yakni:
Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan definisi di atas, penulis menemukan 3 (tiga) pokok pikiran utama yang terkandung
di dalam kerangka pokok pikiran
pendidikan, yaitu: (1) usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran yang
mampu mendorong peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan
(3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Berikut
ini akan dikemukakan secara singkat ketiga pokok
pikiran tersebut.
1.
Usaha sadar dan terencana.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan
bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara
matang (proses kerja intelektual). Oleh karena itu, di setiap level
manapun, kegiatan pendidikan harus disadari dan direncanakan, baik
dalam tataran nasional (makroskopik), regional/provinsi dan
kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) maupun
operasional (proses pembelajaran oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti
terbatas), pada dasarnya setiap kegiatan pembelajaran pun harus
direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam
Permendiknas RI No. 41
Tahun 2007. Menurut Permediknas ini bahwa
perencanaan proses pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar
kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan
pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.
2.
Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya
Pada pokok pikiran yang kedua ini
penulis teringat tentang Aliran
aliran
dalam teori belajar
Behavioristic yang berpendapat
bahwa perubahan tingkahlaku itu akibat dari interaksi antara stimulus dan
respons. Tokoh aliran ini antara lain:
a) Thorndike (1911)
berpendapat bahwa interaksi stimulus dan respon menimbulkan perubahan
tingkahlaku baik konkrit (bisa diamati) maupun nonkonkrit (tidak bisa diamati).
Alirannya disebut “Connectionism”.
b) Watson berpendapat bahwa stimulus dan respon tersebut
harus berbentuk tingkahlaku yang konkrit. Sedangkan perubahan perilaku yang
abstrak diabaikan karena perilaku abstrak itu tidak bisa diukur atau diamati.
Sedangkan Teori
Kognitif berpendapat bahwa tingkahlaku seseorang ditentukan oleh “Persepsi”
atau pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya.
Oleh karena itu, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan
persepsi dan pemahaman ini tidak selalu dapat dilihat sebagaimana perubahan
perilaku. Menurut teori ini, pengetahuan itu dibangun melalui
proses kebermaknaan keseluruhan sesuatu dari pada bagian-bagian.
Teori pembelajaran
lainnya adalah Humanistik. Teori
ini mengatakan bahwa belajar harus bermuara pada manusia itu sendiri.
Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh
siswa, yang mencakup tiga kawasan (taksonomi Bloom) yaitu:
(1)
Kognitif, meliputi 6 tingkatan yaitu: (a) pengetahuan
(mengingat, menghapal); (b) pemahaman; (c) aplikasi; (d) analisis; (e)
sintesis; (f) evaluasi.
(2)
Afektif meliputi 5 tingkatan yaitu: pengenalan; (b)
merespon; (c) penghargaan; (d) pengorganisasian; (e) pengamalan.
(3)
Psikomotor, meliputi 5 tingkatan yaitu: (a) peniruan; (b) penggunaan(menggunakan konsep untuk melakukan gerak); (c)
ketepatan; (d) perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar);
(e) naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
Teori belajar yang
ke empat adalah Teori belajar sibernetika dianggap teori baru. Teori ini
berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi. Teori ini
berpendapat bahwa belajar merupakan pengolahan informasi. (Syadeli Hanafi: Filsafat Pendidikan dan Paradigma
Baru Pndidikan)
Dari pendapat
tersebut bisa penulis melihat bahwa Proses pendidikan yang mengerucut menjadi
pengajaran harus menghasilkan perubahan tingkah laku. Melihat adanya pengerucutan
istilah pendidikan menjadi pembelajaran. Jika dilihat secara sepintas
mungkin seolah-olah pendidikan lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal
semata (persekolahan). Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna
ini, pada pokok pikiran kedua ini, penulis
menangkap pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang
bercorak pengembangan (developmental) dan humanis, yaitu berusaha
mengembangkan segenap potensi didik, bukan bercorak pembentukan yang bergaya
behavioristik. Selain itu, saya juga melihat ada dua kegiatan
(operasi) utama dalam pendidikan: (a) mewujudkan suasana
belajar, dan (b) mewujudkan proses pembelajaran.
a.
Mewujudkan suasana belajar
Berbicara tentang mewujudkan suasana pembelajaran,
tidak dapat dilepaskan dari upaya menciptakan lingkungan belajar,
diantaranya mencakup: (a) lingkungan fisik, seperti: bangunan
sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru,
ruang BK, taman sekolah dan lingkungan fisik lainnya; dan (b) lingkungan
sosio-psikologis (iklim dan budaya belajar/akademik), seperti: komitmen, kerja
sama, ekspektasi prestasi, kreativitas, toleransi, kenyamanan, kebahagiaan dan
aspek-aspek sosio–emosional lainnya, lainnya yang memungkinkan peserta didik
untuk melakukan aktivitas belajar.
Baik lingkungan fisik maupun lingkungan
sosio-psikologis, keduanya didesan agar peserta didik dapat secara aktif
mengembangkan segenap potensinya. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan
guru, di sini tampak jelas bahwa keterampilan guru dalam mengelola kelas
(classroom management) menjadi amat penting. Dan di sini pula,
tampak bahwa peran guru lebih diutamakan sebagai fasilitator
belajar siswa .
b.
Mewujudkan proses pembelajaran
Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan untuk
menciptakan kondisi dan pra kondisi agar siswa belajar, sedangkan
proses pembelajaran lebih mengutamakan pada upaya bagaimana mencapai
tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi siswa. Dalam konteks pembelajaran
yang dilakukan guru, maka guru dituntut untuk dapat mengelola
pembelajaran (
learning management), yang mencakup perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran (lihat
Permendiknas RI No. 41
Tahun 2007 tentang Standar Proses). Di sini, guru lebih
berperan sebagai
agen pembelajaran (Lihat penjelasan PP 19
tahun 2005), tetapi dalam hal ini saya lebih suka menggunakan istilah
manajer
pembelajaran, dimana guru bertindak sebagai seorang
planner,
organizer dan
evaluator pembelajaran)
Sama seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran,
proses pembelajaran pun seyogyanya didesain agar peserta didik dapat
secara aktif mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, dengan
mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered)
dalam bingkai model dan strategi pembelajaran aktif (active learning),
ditopang oleh peran guru sebagai fasilitator belajar.
3.
Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok pikiran yang ketiga ini, merupakan pokok pikiran filsafat yang didalamnya
terdapat faham realisme, idealisme, rasionalisme serta empirisme. (Syadeli
Hanafi: Filsafat Pendidikan dan Paradigma Baru Pndidikan)
Ke-empat aspek
tersebut menggambarkan bahwa pendidikan haruslah bermula dari sebuah ide
imajinatif yang inovatif, revolusioner dan berkembang. Selanjutnya dari
imajinasi hasil karya pikir tersebut diejawanthkan dalam proses kenyataan
dilapangan dengan mempertimbangkan aspek rasional yang dibekali pengalaman
serta pebuktian berlanjut (continue).
selain merupakan bagian dari definisi pendidikan sekaligus
menggambarkan pula tujuan pendidikan nasional kita , yang
menurut hemat saya sudah demikian lengkap. Di sana tertera tujuan
yang berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan sosial. Artinya,
pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan
individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan yang
mencari keseimbangan diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan
karakter, dengan melihat pokok pikiran yang ketiga dari definisi
pendidikan ini maka sesungguhnya pendidikan karakter sudah implisit
dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru.
Selanjutnya tujuan-tujuan tersebut dijabarkan ke
dalam tujuan-tujuan pendidikan di bawahnya menjadi tujuan-tujuan yang lebih kecil dan
terperinci dan dioperasionalkan melalui tujuan pembelajaran
yang dilaksanakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Ketercapaian
tujuan – tujuan pada tataran operasional memiliki arti yang
strategis bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan uraian di atas, kita melihat bahwa
dalam definisi pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003,
secara jelas menggambarkan bukan hanya “apa pendidikan itu”, tetapi jauh didalamnya memiliki makna dan
implikasi yang luas tentang siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa
peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang
ingin dicapai oleh pendidikan.
C.
Definisi
Kurikulum
1.
Menurut George A. Beaucham (1976), kurikulum sebagai bidang studi
membentuk suatu teori yaitu teori kurikulum. Selain sebagai bidang studi
kurikulum juga sebagai rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem (sistem
kurikulum) yang merupakan bagian dari sistem persekolahan.
2.
Menurut Hilda Taba (1962), Kurikulum sebagai a plan for
learning, yakni sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh siswa.
Sementara itu, pandangan lain mengatakan bahwa kurikulum sebagai dokumen tertulis
yang memuat rencana untuk peserta didik selama di sekolah.(Hilda Taba ;1962
dalam bukunya “Curriculum Development Theory and Practice).
3.
Nengly and Evaras (1976), Kurikulum adalah semua pengalaman
yang direncanakan yang dilakukan oleh sekolah untuk menolong para siswa dalam
mencapai hasil belajar kepada kemampuan siswa yang paling baik.
4.
J. Galen Saylor dan William M.
Alexander dalam buku Curriculum Planning for Better Teaching on Learning
(1956),
menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut” The curriculum is the sum totals of
schools efforts to influence learning, whether in the class room, on the play
ground, or out of school. Jadi segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak
belajar, apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah, atau di luar sekolah
termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan ekstra
kulikuler.
5.
J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller
dalam buku school improvement. Menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode
mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan
tanaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasi dan
hal-hal structural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemingkinan memilih
mata pelajaran.
Dengan pengertian dari beberapa
tokoh tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah suatu program pendidikan yang
di rencanakan, di programkan, dan di rancang sedemikian rupa secara sistematis
yang berisi bahan ajar serta pengalaman belajar sehingga dalam program
pendidikan memiliki arah dan tujuan yang akan di capai dan dari hasil yang di
capai kita dapat merevisi ulang dan mengembangkan program pendidikan untuk
memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya sehingga suatu kurikulum
pembelajaran dapat di katakan selalu berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan pendidikan.
D.
Definisi Life
Skills
Istilah Kecakapan Hidup (life
skills) diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan
berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan,
kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga
akhirnya mampu mengatasinya (Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis, 2003).
Brolin (1989) menjelaskan bahwa, “Life skills
constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a
person to function effectively and to avoid interruptions of employment
experience”. Dengan demikian life skills dapat dinyatakan sebagai
kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan
tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar
pendukungnya secara fungsional seperti : membaca, menulis, menghitung,
merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim,
terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi (Satori, 2002).
Pendidikan Kecakapan Hidup (life
skills) lebih luas dari sekedar keterampilan bekerja, apalagi sekedar
keterampilan manual. Pendidikan kecakapan hidup merupakan konsep pendidikan
yang bertujuan untuk mempersiapkan warga belajar agar memiliki keberanian dan
kemauan menghadapi masalah hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa
tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya.
Indikator-indikator yang terkandung
dalam life skills tersebut secara konseptual dikelompokkan : (1)
Kecakapan mengenal diri (self awarness) atau sering juga disebut
kemampuan personal (personal skills), (2) Kecakapan berfikir rasional (thinking
skills) atau kecakapan akademik (akademik skills), (3) Kecakapan
sosial (social skills), (4) Kecakapan vokasional (vocational skills)
sering juga disebut dengan keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang
dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu dan bersifat spesifik (spesifik
skills) atau keterampilan teknis (technical skills).
Menurut Jecques Delor
mengatakan bahwa pada dasarnya program life skills ini berpegang pada
empat pilar pembelajaran yaitu sebagai berikut:
- Learning to know (belajar untuk memperoleh
pengetahuan).
- Learning to do (belajar untuk dapat
berbuat/bekerja).
- Learning to be (belajar untuk menjadi orang
yang berguna).
- Learning to live together (belajar untuk dapat hidup
bersama dengan orang lain)
E.
Definisi Pengangguran :
Menurut
Ida Bagoes Mantra, pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang sekarang
ini tidak bekerja dan sedang aktif mencari pekerjaan. Konsep ini sering
diartikan sebagai keadaan pengangguran terbuka.
Menurut
Dumairy Pengangguran adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan, lengkapnya
orang yang tidak bekerja dan (masih atau sedang) mencari pekerjaan.
Masalah yang sering dihadapi adalah masalah setengah menganggur atau
pengangguran tidak kentara, yang pengertiannya adalah sebagai berikut :
1.
Setengah menganggur
Keadaan setengah menganggur
(underemployment) terletak antara full employment dan sama sekali menganggur.
Pengertian yang digunakan ILO, Underemployment yaitu perbedaan antara jumlah pekerjaan yang betul dikerjakan
seseorang dalam pekerjaannya dengan jumlah pekerjaan yang secara normal mampu
dan ingin dikerjakannya. Konsep
ini dibagi dalam :
a.
Setengah menganggur yang kentara
Setengah menganggur yang kentara
(visible underemployment) adalah jika seseorang bekerja tidak tetap (part time)
di luar keinginannya sendiri, atau bekerja dalam waktu yang lebih pendek dari
biasanya.
b.
Setengah menganggur yang tidak kentara
Setengah menganggur yang tidak
kentara (invisible underemployment) adalah jika seseorang bekerja secara penuh
(full time) tetapi pekerjannya itu dianggap tidak mencukupi karena
pendapatannya terlalu rendah atau pekerjaan tersebut tidak memungkinkan ia
untuk mengembangkan seluruh keahliannya.
2.
Pengangguran tidak kentara
Pengangguran tidak kentara
(disguised unemployment), dalam angkatan kerja mereka dimasukkan dalam kegiatan
bekerja, tetapi sebetulnya mereka menganggur jika dilihat dari segi
produktivitasnya. Jadi di sini mereka sebenarnya tidak mempunyai produktivitas
dalam pekerjaannya. Misalnya mereka terdiri dari 4 orang yang bersama-sama bekerja
dalam jenis pekerjaan yang sesungguhnya dapat dikerjakan oleh 3 orang sehingga
1 orang merupakan ‘disguised unemployment’.
3.
Pengangguran Friksional
Pengangguran friksional yaitu
pengangguran yang terjadi akibat pindahnya seseorang dari suatu pekerjaan ke
pekerjaan lain, dan akibatnya harus mempunyai waktu tenggang dan berstatus
sebagai penganggur sebelum mendapatkan pekerjaan yang lain tersebut.
Menurut Lincolin Arsyad (1999: 35),
untuk memperoleh pengertian sepenuhnya tentang arti penting dari masalah
ketenagakerjaan (employment) di perkotaan, kita harus memperhitungkan pula
maslah pertambahan pengangguran terbuka yang jumlahnya lebih besar yaitu mereka
yang kegiatannya aktif bekerja tetapi secara ekonomis sebenarnya mereka tidak
bekerja secara penuh (underutilized). Untuk mengelompokkan masing-masing
pengangguran, menurut Edgar O. Edward (tahun 1974 ) buku Ekonomi Pembangunan
(Lincolin Arsyad, 1999: 35) perlu diperhatikan dimensi-dimensi:
1.
Waktu (banyak di
antara mereka yang bekerja lebih lama, misalnya jam kerjanya per hari, per
minggu, atau per tahun).
2.
Produktivitas
(kurangnya produktivitas seringkali disebabkan oleh kurangnya sumber
daya-sumber daya komplementer Untuk melakukan pekerjaan).
3.
Intensitas
pekerjaan (yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi makanan)
Bentuk
pengangguran :
Menurut Edgar O. Edward
(tahun 1974 ) Pengangguran dibagi kedalam 5 Bentuk :
1.
Pengangguran
terbuka : baik sukarela (mereka yang tidak mau bekerja karena mengharapkan
pekerjaan yang lebih baik) maupun secara terpaksa (mereka yang mau bekerja
tetapi tidak memperoleh pekerjaan).
2.
Setengah
menganggur (underemployment): yaitu mereka yang bekerja lamanya (hari, minggu,
musiman) kurang dari yang mereka biasa kerjakan.
3.
Tampaknya
bekerja tetapi tidak bekerja secara penuh: yaitu mereka yang tidak digolongkan
sebagai pengangguran terbuka dan setengah pengangguran, termasuk di siniadalah:
a. Pengangguran
tak kentara (disguised unemployment) Misalnya para petani yang bekerja di
lading selama sehari penuh, apdahal pekerjaan itu sebenarnya tidak memerlukan
waktu selama sehari penuh.
b. Pengangguran
tersembunyi (hidden unemployment) Misalnya oaring yang bekerja tidak Sesuai
dengan tingkat atau jenis pendidikannya.
c. Pensiun lebih
awal Fenomena
ini merupakan kenyataan yang terus berkembang di kalngan pegawai pemerintah. Di
beberapa negara, usia pensiun dipermuda sebagai alat menciptakan peluang bagi
yang muda untuk menduduki jabatan di atasnya.
4.
Tenaga kerja
yang lemah (impaired): yaitu mereka yang mungkin bekerja full time, tetapi
intensitasnya lemah karena kurang gizi atau penyakitan.
5.
Tenaga
kerja yang tidak produktif : yaitu mereka yang mampu untuk bekerja secara
produktif tetapi karena sumber daya-sumber daya penolong kurang memadai maka
mereka tidak bisa menghasilkan sesuatu dengan baik.
Penyebab Pengangguran
Sektor pendidikan
dan keahlian acap kali dijadikan kambing hitam dalam penyebab maraknya
pengguran di indonesia. Memang ada benarnya, tetapi yang menjadi faktor
tingginya tingkat pengangguran di indonesia bukan hanya disebabkan oleh satu
sektor saja melainkan banyak faktor lain yang menmupuk kesuburannya. Beberapa
penyebab tingginya angka pengngguran di Indonesia adalah
1.
Pola Pikir
masyarakat indonesia ketika mengirim anknya kesekolah, mereka sekonyong-konyong
pasrah dan tak berdaya untuk mengoreksinya terhadap kurikulum sekolah tanpa
mengetahui sejara jelas tujuan serta arah dari kurikulum tersebut.(Anne Ahira)
2.
Ketidakseimbangan
antara Permintaan (demand) dan
penawaran (Supply) lapangan kerja
bagi Masyarakat
3.
Rendahnya
Kualitas Sumber daya manusia (SDM) serta miss
match antara tenaga kerja dengan kualifikasi yang diminta penyedia kerja.
(Trimo Yulianto)
4.
Ketidaksiapan
masyarakat untuk membuat peluang dengan berwira usaha
Hal-hal tersebut di atas menjadi aspek
yang memberikan sumbangsih yang tinggi dalam pengangguran di indonesia.
BAB III
PEMBAHASAN
Otonomi Daerah dan Pendidikan
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi
pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa
secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan
penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih
baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32
Tahun 2004).
Tentang desentralisasi ini ada beberapa konsep yang dikemukakan oleh para ahli
sebagai berikut.
1.
Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang
menyangkut bidang legislatif, judikatif, atau administratif (Encyclopedia of
the Social Sciences, 1980).
2.
Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam
bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi, di mana sebagian
kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan
(Soejito, 1990).
3.
Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang
dari pernerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga pelimpahan
beberapa wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi
(Mardiasmo, 2002).
4.
Desentralisasi adalah sehagai pengakuan atau penyerahan
wewenang oleh badan-badan umurn yang lebih rendah untuk secara mandiri dan
berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil lceputusan pengaturan
pernerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu (Hoogerwerf,
1978).
5.
Decentralization is the transfer of planning, decision
inaking, or ndnlinistrative authority from the central government to its field
organizations, local and administrative units, setni autonomous and pcrastatal
organizations, local government, or nongoverrirnental ornanizatioais
(Rondinelli clan Chcema, 1983: 77).
6.
Pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna
bahwa melalui proses desentralisasi unisan-urusan pemerintahan yang semula
termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagian diserahkan
kepada pernerintah daerah agar menjacli urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut
beralih kepada clan menjadi wewenang clan tanggung jawab pernerintah daerah
(Koswara, 1996).
7.
Desentralisasi atau mendesentralisasi pemerintahan bisa
berarti merestrukturisasi atau mengatur kembali kekuasaan sehingga terdapat
suatu sistem tanggung jawab bersama antara institusi-institusi pemerintah
tingkat pusat, regional, maupun lokal sesuai dengan prinsip subsidiaritas.
Sehingga meningkatkan kualitas keefektifan yang menyeluruh dari sistem
pemerintahan, dan juga meningkatkan otoritas dan kapasitas tingkat subnasional
(UNDP, 2004: 5).
Dari beberapa konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa
desentralisasi merupakan adanya penyerahan wewenang urusan-urusan yang semula
menjacli kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
melaksanakan urusanurusan tersebut.
Secara politis, desentralisasi dalam pengertian devolusi dilakukan untuk
memenuhi tuntutan golongan minoritas yang menuntut otonomi dalarn vvilayahnya.
Semakin tinggi praktikpraktilc diskriminasi, akan semakin kuat menciptakan
tuntutan akan otonomi.
Desentralisasi juga dapat dipakai sebagai
alat untuk mcmobilisasi dukungan terhadap kebijakan pembangunan nasional dengan
menginformasikannya kepada masyarakat (Lurah untuk menggalang partisipasi di
dalam perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya di daerah. Partisipasi lokal
dLipat digalang melalui keterlibatan dari berbagai kepentingan sepcrti
kepentingan-kepentingan politik, agama, suku, kelompok-kelompok profesi di
dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan oleh pemerintah daerah (Oentarto,
et.al., 2004: 20). Bagaimanapun, secara politis keberadaan pemerintah daerah
sangat penting untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan daerah.
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa
kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam scluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, fiskal/moneter, dan agama, serta kewenangan lain yang diatur secara
khusus. Selain itu, semuanya menjadi kewenangan daerah, termasuk salah satunya
bidang pendidikan. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi
daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan,
demokratisasi clan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memerhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah.
Kewenangan pengelolaan pendidikan berubah
dari system sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi pendidikan
berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kcpada
daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam
mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan (Abdul Halim, 2001:
15).
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah clan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom, pada
kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan
pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.
penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar,
serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara
nasional, serta pedoman pelaksanaannya;
2.
penetapan standar materi pelajaran pokok;
3.
penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar
akademik;
4.
penctapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan;
5.
penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan,
sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa;
6.
penetapan persyaratan peningkatan/zoning, pencarian,
pemanfataan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda
cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi;
7.
pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta
pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip,
clan monumen yang diakui secara internasional;
8.
penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar
efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah;
9.
pengaturan dan pengembangan pendidikap tinggi,
pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional;
10.
pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Sementara
itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa clan mahasiswa dari masyarakat
minoritas, terbelakang, dan/ atau tidak mampu;
2. penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk
taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar
sekolah;
3. mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan
kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis;
4.
pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi;
5.
penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan clan/ atau penataran
guru;
6. penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan,
kajian sejarah clan nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya
daerah.
Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan berbeda dengan
desentralisasi bidang pemerintahan lainnya, kalau desentralisasi bidang-bidang
pemerintahan lain berada pada pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, maka
desentralisasi di bidang pendidikan tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota,
tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak
pelaksanaan pendidikan. Dalam praktik desentralisasi pendidikan itulah maka
dikembangkanlah yang dinamakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan manajemen
berbasis sekolah, sebenarnya merupakan kecenderungan internasional yang
dipraktikkan di banyak negara (Brady, 1992), clan untuk Indonesia merupakan
salah satu upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan dan sumber daya manusia yang
helakangan ini dirisaukan banyak pihak, terutama bila dilihat dari beberapa
laporan hasil survei dari lembaga-lembaga independen dunia, menempatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia pacla urutan bawah, jauh di bawah
negara-negara tetangga seperti Singapore, Malaysia, Thailand, dan bahkan
Philipina.
Dalam konteks desentralisasi ini, peran serta masyarakat
sangat diperlukan. Aparatur pendidikan baik di pusat tnaupun di daerah,
berperan penting dalam peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas
masyarakat untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional. Salah satu
sasaran pembangunan adalah mewujudkan desentralisasi daerah yang nyata,
dinamis, dan bertanggung jawab. Titik berat desentralisasi diletakkan pada
kabupaten/kota. Oleh karena itu, peningkatan kualitas aparatur pendidikan di
daerah amatlah mendasar pcranannya, terutama pada lapisan yang terdekat dengan
rakyat yang mendapat pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat
akar rumput (grass root) juga penting untuk mcndorong partisipasi aktif
masyarakat dalam pembangunan pcndidikan. Sebagaimana dikemukakan terdahulu,
bahwa desentralisasi di bidang pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang
pemerintahan lainnya yang berhenti pada tingkat kabupaten/kota. Di bidang
pendidikan justru sampai pada pelaksana teknis atau ujung tombak pendidikan,
yaitu sekolah-sekolah.
B. STRATEGI DAN PROGRAM PENDIDIKAN DALAM UPAYA PENGENTASAN PENGANGGURAN
Adanya
permasalahan dan penyebab terjadinya pengangguran yang terkait secara lagsung
maupun tidak langsung menuntut sebuah strategi dan program-program yang
dianggap mampu mengupayakan pengentasan pengangguran yang ada di Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan Herbert Spencer (1860) yang
menganalisis tujuan pendidikan dalam lima bagian, yang berkenaan dengan:
1. Kegiatan demi kelangsungan hidup.
2. Usaha mencari nafkah.
3. Pendidikan anak.
4. Pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan negara.
5. Penggunaan waktu senggang.
Tidaklah salah jika pendidikan adalah aspek yang sangat sering menjadi
sorotan, karena disadari atau tidak pendidikan menjadi satu modal yang utama
dalam membangun sebuah peradaban dan perkembangan sebuah bangsa.
Berkaitan dengan peranan pendidikan
dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi
pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan. Menurut pengalaman masyarakat di Barat,
lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama
mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap
modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti
menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan
partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human
lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih
menguntungkan, memiliki economic rate of
return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik. (http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting /2245802-sistematika-penulisan-karya-tulis-cara/#ixzz1pRKtYHdS)
Sejalan dengan hal
tersebut, sejenak kembali kita mengingat konsep restorasi Meiji, manabu
(belajar), maneru (meniru), dan nusumu (mencuri). Restorasi Meiji inilah sebagai katalis dalam kemajuan
Jepang menuju negara industri maju. Keberhasilan Restorasi Meiji ini diakui
dunia tidak ada bandingannya di seluruh dunia. Dalam jangka waktu hanya sekitar
30 tahunan telah berhasil membawa Jepang dari negara terisolasi, terbelakang
dan tradisional menjadi negara maju yang kompetitif dengan negara-negara barat.
Restorasi Meiji ini juga telah melahirkan tokoh-tokoh yang
amat berpengaruh bagi kemajuan Jepang seperti Fukuzawa Yukichi tokoh modernisasi
pendidikan Jepang, Dalam era Restorasi Meiji ini ia mampu memberi pengaruh yang
amat besar, yang hingga kini mampu menggerakkan masyarakat Jepang untuk mencari
ilmu dan terus belajar.
Perubahan yang begitu besar bagi masyarakat Jepang ini juga tidak terlepas dari
mental model manusia Jepang yang memang telah lama diwarisi dan terbentuk oleh
mental Bushido atau jalan hidup samurai (kerja keras, jujur, ikuti pemimpin,
tidak individualis, tidak egois, bertanggung jawab, bersih hati, harus tahu malu).Selain itu konsistensi karakter
manusia Jepang baik dirumah, sekolah maupun di masyarakat, juga berpengaruh
bagi terwujudnya social order yang nampak otomatis dimiliki manusia Jepang.
Realitas bangsa Jepang yang sungguh-sungguh memberikan kontribusi dan menolong
manusia lainya.
Sebuah
konsep perubahan bangsa yang membawa masyarakat dan bangsa Jepang menjadi
dominan di Asia bahkan dunia. Konsep ini pulalah yang selayaknya diciptakan
dalam masyarakat kita. Harus ada perubahan yang mendasar dalam pola pikir, kebiasaan
hidup serta budaya. Karena perubahan adalah sebuah
keniscayaan, perubahan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia. Tanpa
adanya perubahan maka dapat dipastikan bahwa manusia tidak akan bertahan.
Bagitu juga dengan konteksnya dalam masyarakat. Masyarakat yang tidak mau
berubah tidak akan mampu menghadapi perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan
kemajuan teknologi, yang ada mereka akan tertinggal dan terus tertinggal.
Melihat kepada keberhasilan manusia
dan masyarakat Jepang yang cukup menarik perhatian umat manusia karena berbagai
hal, bangsa Jepang telah membelalakkan mata dunia dengan menjadi bangsa yang
pilih tanding dalam kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang juga
mampu mereformasi pendidikan secara menyeluruh yang disesuaikan dengan dunia
Barat.
Keberhasilan Jepang sekarang ini
tidaklah dapat dipisahkan dari kebangkitan bangsa Jepang dari keterpurukannya
sebelum lahirnya era terang yang sering disebut sebagai “Restorasi Meiji”.
Bangsa Jepang sebelum Restorasi Meiji adalah bangsa yang penuh carut marut
konflik sosial dan konflik antar kelompok, termasuk carut marut ekonomi.
Peristiwa Restorasi Meiji 1868 adalah sejarah agung manusia Jepang sesudah
carut marut politik itu. Restorasi Meiji menjadi sejarah besar yang pengaruhnya
begitu abadi bagi bangsa Jepang hingga saat ini.
Sejalan dengan hal itu, pendidikan memiliki tugas
paradigma Sosial dalam pembangunan.
Peranan
pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b)
kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan
produktivitas, dan c) secara umum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan
semakin banyaknya warga masyarakat yang
memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosial ini, pendidikan harus diperluas
secara besar-besaran dan menyeluruh,
kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma ini telah melahirkan pengaruh besar dalam
dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal.
Pertama, telah melahirkan paradigma
pendidikan yang bersifat
analis-mekanistis dengan mendasarkan
pada doktrin reduksionisme dan mekanistik.
Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang
yang dapat dipecah-pecah dan
dipisah-pisah satu dengan yang lain.
Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki
keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara
langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam
serpihan-serpihan kecil yang satu dengan
yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit
SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian
telah dikembangkan untuk
menyesuaikan dengan serpihan-serpihan
tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan
proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik.
Guru, kurikulum, dan fasilitas
diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan
menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan.
Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan
diperlakukan sebagai sistem yang
bersifat mekanik yang perbaikannya bisa
bersifat partial, bagian mana yang
dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma
pendidikan yang keliru cenderung tidak
akan sesuai dengan realitas. Paradigma
pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu
proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan
masyarakat secara totalitas.
Kedua, para pengambil kebijakan
pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak
pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan.
Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam
suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan
pendidikan harus menjadi panutan dan
penentu perkembangan dunia yang lain,
khususnya, dan bukan sebaliknya
perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga
pendidikan formal inilah berbagai ide
dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.
Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat,
maka bentuk sistem pendidikan yang
paling tepat adalah single track dan
diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat
jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga
kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Agar proses pendidikan efisien dan
etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat
sentralistis, kurikulum penuh dengan
pengetahuan dan teori-teori (text
bookish). Namun,
pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan
tidak bisa berperan sebagai penggerak
dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul
Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat
pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan:
kultural, sosial, dan khususnya
kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik. Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas
bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin
disempurnakan hanya lewat pembaharuan
yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional
sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari
penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan
kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis.
Pertama, tidak dapat diketemukan
secara tepat dan pasti bagaimana proses
pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah
dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi
artikel ini disalin dari yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya,
kemampuan teknologis yang diterima dari
lembaga pendidikan formal tidak sesuai
dengan kebutuhan yang ada. Di
samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut
dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga
kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa
pendidikan sebagai penyebab dan
pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal
sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang.
Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih
dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya,
tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan
ekonomi dan politik. Dengan kata lain,
pendidikan sistem persekolahan
yang monoton bukanlah
engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan
pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil
pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan
tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana
terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa
pendapatan individu mencerminkan produktivitas
yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi
ini tidak pernah terbukti. Upah dan
produktivitas tidak selalu seiring.
Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat
tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu
dikaji kembali.
Keempat, paradigma sosialisasi
hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan
kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat
meningkatkan kompetensi yang lebih
tinggi untuk meningkatkan produktivitas.
Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi
modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential
Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979)
menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan
pendidikan untuk memegang suatu
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja
dengan pendidikan formal yang
lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi
dibandingkan dengan pekerja .yang
memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian
yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia
kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga
pendidikan yang lebih canggih.
Dari
berbagai uraian tersebut dapat difahami bahwa peran Pendidikan begitu besar
dalam upaya mengentas pengangguran. Namun pendidikan tidak akan mampu berbicara
banyak jika tidak didukung oleh aspek-aspek lain. Aspek-aspek pendukung
keberhasilan itu adalah:
1.
Pendidikan
sebagai Engine of Growth
Pendidikan sebagai Engine
of Growth maka Pendidikan berperan sebagai mesin penggerak roda pembangunan
dan pertumbuhan harus sejalan dengan
peningkatan ekonomi, karena dengan peningkatan kekuatan ekonomi, anggaran
pendidikan serta pemerataannya akan tumbuh.( Mardimin, Johanes 1996).
2.
Peran Pemerintah Pusat, Daerah
dan Masyarakat
Peran pemerintah dalam menunjang pendidikan yang dikemas
sebagai pengentas pengangguran sangat dominan. Segala bentuk kebijakan yang
dikeluarkan dapat disesuaikan sesuai tujuan pendidikan yang diemban.
Kebijakan pemerintah bisa berupa anggaran pendidikan,
kurikulum, standar Pendidik serta manajemen yang ada dalam lembaga yang ada
kaitannya denga dunia pendidikan.
Ketika berkaitan dengan alokasi dana yang bersumber dari pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun daerah harus lebih proporsional dengan menitikberatkan
pada Pendidikan keterampilan hidup (life skill), hal ini sejalan dengan
pengembangan Sekolah Kejuruan yang digagas pemerintah. Asalkan adanya penguatan
dari dalam maupun dari luar pemerintah.
Dalam penentuan kurikulum pemerintah beserta lembaga
pendidikan
sebaiknya menyusun kurikulum dibuat
bukan hanya dalam ruang lingkup formal, tetapi dengan memberdayaka masyarakat
dan dunia industri. Hal ini menuntut adanya keselarasan antara pihak sekolah
dengan masyarakat dan dunia industri, khususnya dalam penyusunan kurikulum.
3.
Perubahan Pola Pikir dan Mentalitas
Disadari atau tidak pengangguran Pendidikan yang
dilaksanakan harus mampu mengubah pola pikir masyarakat, yang monoton (pola
siap kerja menjadi siap berwira usaha. Tingkatkan mentalitas dan etos kerja
yang profesional. Dengan mental yang baik akan tercipta dunia kerja yang
kondusif sehingga mampu menekan pengangguran.
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Pendidikan sebagai satu
asset pembangun bangsa harus bersinergi dengan pemerintah. Keselarasan antara
keduanya akan mampu membawa dampak yang positif terhadap perkembangan bangsa. Jika
dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah harus seiring
seirama dengan konsep pendidikan yang dilaksanakan di daerah, dalam rangka untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan
pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Ala,
Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan.
Yogyakarta:
Penerbit Liberty.
Arikunto,
Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Bungin,
Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis
dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi.
Jakarta: PT Raja
Grafindo
Persada.
Conyers,
Diana. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Terjemah:
Susetiawan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Efendi,
Tadjuddin Noer. 1993. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan
Kemiskinan.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Friedmann,
John. 1987. Planning in The Public Domain: From Knowledge to
Action. Oxford, UK: Princeton University.
Kartasasmita,
Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan: Perkembangan
Pemikiran
dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Khairuddin.
1992. Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Kunarjo.
2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. Jakarta:
Penerbit
Universitas Indonesia.
Kuncoro,
Mudrajat. 2004. Otonomi Daerah - Reformasi, Perencanaan, Strategi
dan
Peluang. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Lewis,
John P. dan Valeriana Kallab (Eds). 1987. Mengkaji Ulang Strategi-
Strategi
Pembangunan. Terjemah: Pandam Guritno.
Jakarta: Penerbit
Universitas
Indonesia.
Mandelbaum,
Seymour J., Luigi Mazza dan Robert W. Burchell (Eds). 1996.
Explorations
in Planning Theory. New Jersey: Center for
Urban Policy
Research.
Mantra,
Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mardimin,
Johanes (ed). 1996. Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia.
Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Mikkelsen,
Britha. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya
Pemberdayaan.
Terjemah: Matheos Nalle Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Moleong,
Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT
Remaja
Rosdakarya.
Muhadjir,
Noeng. 2000. Metode Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta:
Penerbit
Rake Sarasin.
______________.
2004. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation
Research:
Integrasi Penelitian, Kebijakan dan Perencanaan.
Yogyakarta:
Penerbit Rake Sarasin.
Narbuko,
Cholid dan Abu Achmadi. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT
Bumi
Aksara.
Nasution,
Lutfi I. (ed). 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di
Indonesia-
70 Tahun Prof. Sajogyo. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana.
Nazir,
Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nugroho,
Iwan dan Rokhmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah- Perspektif
Ekonomi,
Sosial dan Lingkungan. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Remi,
Sutyastie Soemitro dan Prijono Tjiptoherijanto. 2002. Kemiskinan dan
Ketidakmerataan
di Indonesia. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.
Ridlo,
Mohammad Agung. 2001. Kemiskinan di Perkotaan. Semarang: Penerbit
Unissula
Press.
Rusli,
Said (ed). 1995. Metodologi Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin:
Suatu
Tinjauan dan Alternatif. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Utama
dan
Institut Pertanian Bogor.
Soegijoko,
Budi Tjahjati S. dan BS Kusbiantoro (ed). 1997. Bunga Rampai
Perencanaan
Pembangunan di Indonesia. Bandung: Yayasan
Soegijanto
Soegijoko.
Soetrisno,
Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan.
Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Suharto,
Edi (ed). 2004. Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial- Studi Kasus
Rumah
Tangga Miskin di Indonesia. Bandung:
STKS Press.
Suparlan,
Parsudi. 1994. Kemiskinan di Perkotaan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
BIODATA PENULIS
Nama : Mulkilah
NIP :
198409072010011008
TMT bertugas : 01 Januari 2010
TTL : Serang, 07
September 1984
Alamat : Puri
Regency, Blok B.4 No. 6 Cipocok Serang
Tempat tugas : SMK Negeri 5 Kota Serang
No. KTPE : 3604190709840001
Phone : 087805686863