Wednesday 31 July 2013

IDUL FITRI TASK

Reading Comprehension
Make the resume of your understanding and answer the question!


Ramadan is the ninth month of the Islamic calendar. It is the Islamic month of fasting, in which participating Muslims refrain from eating, drinking from dawn until sunset. Ramadan had been the name of the ninth month in Arabian culture long before the arrival of Islam. In the Qur'an it is said that "fasting has been written down (as obligatory) upon you, as it was upon those before you" which is a reference to the Jewish practice of fasting on Yom Kippur. Fasting is meant to teach the Muslim patience, modesty and spirituality.
RamadanRamadan is a time for Muslims to fast for the sake of God and to offer more prayer than usual. During Ramadan, Muslims ask forgiveness for past sins, pray for guidance and help in refraining from everyday evils, and try to purify themselves through self-restraint and good deeds.
As compared to the solar calendar, the dates of Ramadan vary, moving backwards about ten days each year as it is a moving holiday depending on the moon. Ramadan was the month in which the first verses of the Qur'an were said to be revealed to the Islamic Prophet Muhammad. That was during a night that Muslims call Laylat al-Qadr (the night of decree or measures.) The night is believed to be one of the 10 last days of the month.
Ramadan ends with Eid ul-Fitri on the first of Shawwal, with much celebration and feasting.
Source: Wikipedia
Top of Form
Comprehension
1.    Ramadan was introduced after Islam had appeared.
a.
  True
b.
  False
2.    Ramadan comes on a fixed date every year.
a.
  True
b.
  False
3.    In Ramadan Muslims don't fast all day long.
a.
  True
b.
  False
4.    Muslims believe that the Qur'an was revealed during the first nights of Ramadan.
a.
  True
b.
  False 

Auxiliary Verbs

Exercise 1

Complete each sentence with the correct auxiliary verb.
1.             What  you done?
2.             I  not like this song.
3.              she know that you are here?
4.             The lesson  not started yet.
5.              you drink milk?
6.             Who  eaten my biscuits?
7.             It  not matter.
8.             They  not want to play outside.
9.             We  not seen you for a long time.
10.          My friend  sent me some photos.



Name    : …………………….
Class    : …………………….
Score   : …………………….
Note : Submit the task before August 15th 2013

Happy Iedul Fitri,
Bottom of Form


Monday 20 May 2013

subjunctive video

guys, if you want to study about subjunctive just click the following link and enjoy the video. https://www.youtube.com/watch?v=-vefS0B1DIY

Thursday 2 May 2013

Sinergi Otonomi dan Kurikulum Perlukah?



KATA PENGANTAR

Sebagaiman diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) telah menyelesaikan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan yang kemudian dikukuhkan menjadi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Nomor 24 Tahun 2006 tentang ketentuan pelaksanaannya. Selain itu, berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah dan kabupaten / kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Denga adaya Undang-undang serta peraturan ini pelaksanaan persiapan untuk penyelenggaraan pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota seyogyanya berjalan seirama dengan tujuan akhir yang sama. Terlebih jika dikaitkan dengan peran pendidikan sebagai satu lokomotif persiapan menuju generasi penerus bangsa yang lebih kompeten.
Pada kesemppatan ini penulis mencoba membuat sebuah karya ilmiah yang sengaja dibuat untuk membuka cakrawala berpikir penulis khususya serta bagi yang membacanya. Penulis yakin dalam karya ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki.
Kepada semua pihak yang telah memberikan konstribusi sehingga terwujud karya tulis ni, penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.


Serang, 19 April 2013
Penulis,
Mulkilah



BAB 1
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Paradigma keberhasilan pendidikan yang berkembang dalam masyrakat saat ini adalah jika seseorang telah mampu mengaktualisasikan diri dalam dunia kerja atau dunia usaha baik dengan bergabung dengan dunia usaha maupun dengan membuat sendiri usaha tersebut. Hal ini tidak terlepa dari pemahaman bahwa Pendidikan merupakan satu unsur yang sangat dominan dalam mendorong kemampuan dan keterampilan individu dalam masyarakat. Keterampilan seorang individu mampu memberikan dampak yang positif terutama jika dikaitkan dalam keberhasilan dalam berusaha atau bekerja.  Pendidikan akan dikatakan baik dan berhasil oleh masyarakat jika produknya dapat diterima oleh dunia kerja dan usaha. Namun jika yang terjadi pada produk pendidikan adalah kebalikannya (nganggur)  maka pendidikan akan dicap gagal.
Munculnya asumsi sosial bahwa pendidikan mempengaruhi kesuksesan ekonomi seseorang bukanlah suatu keyakinan spontan yang tidak berdasar. Berangkat dari sebuah trend sosial masyarakat di Indonesia, misalnya pada awal dekade berkuasanya Orde Baru, sebagian besar lini pekerjaan membutuhkan tenaga kerja berlatar belakang pendidikan formal. Hampir mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal mampu terserap di lahan-lahan pekerjaan. Situasi tersebut memang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan pemerintah terhadap tenaga terdidik untuk mengoperasikan skill dan keahliannya dalam rangka industrialisasi dan
modernisasi pembangunan negara.
Sedemikian eratnya pendidikan jika dikaitkan dengan pengangguran. Karena pengangguran dan kemiskinan  menjadi salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat Pengagguran di suatu wilayah lazim digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan di wilayah tersebut. Dengan demikian, Pengangguran menjadi salah satu tema utama pembangunan. Keberhasilan dan kegagalan pembangunan acapkali diukur berdasarkan perubahan pada tingkat pengangguran (Suryahadi dan Sumarto, 2001).
John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi fungsi pendidikan dalam bentuk yang sederhana sebagai memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial, dan untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi (http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting)
Dari kedua fungsi tersebut dapat diuraikan bahwa secara implisit tujuan pendidikan adalah untuk memberikan perubahan terhadap cara pandang, tujuan hidup dalam bermasyarakat serta meningkatakan derajat martabat  masyarakat bangsa.
Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan.
Namun dalam praktik serta kenyataan dilapangan, pendidikan belum mampu membuktikan seluruh aspek yang terkandung dalam fungsinya. salah satu contoh yang nyata dalam masyarakat kita, begitu banyak hasil atau produk pendidikan yang tidak match serta tidak dapat mengaktualisasikan apa yang mereka peroleh selama mengikuti proses pendidikan dengan apa yang dibutuhkan dalam masyarakat.. Hal ini menimbulkan bias antara proses pendidikan dengan realita kebutuhan masyarakat yang cenderung pragmatis dalam menilai fungsi pendidikan. Bagi masyarakat kita pada umumnya, pendidikan dianggap berhasil jika sudah mampu memberikan imbalan yang positif secaa signifikan.
Terlebih jika dikaitkan dengan kebijakan otonomi daerah yang belum optimal direalisasikan.  Dalam skala nasional pemerintah mempunyai beberapa kepentingan antara lain sejalan dengan isu wajib belajar (Wajar) dan sebagai upaya mewujudkan salah satu tujuan nasional "mencerdaskan kehidupan bangsa" (Pembukaan UUD 1945), demikian juga seperti yang tertuang dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 tentang hak mendapatkan pengajaran. Persoalan yang sering muncul adalah bagaimana melalui otonomi daerah, yang besarnya potensi dan sumber pembiayaan berbeda, dapat menjamin agar tiap-tiap warga negara memperoleh hak pengajaran. atau bagaimana dengan otonomi daerah tersebut dapat menjamin bahwa Wajib Belajar pendidikan dasar sembilan tahun dapat dituntaskan di semua daerah kabupaten/kota dalam waktu yang relatif sama. Isu lainnya adalah pembentukan "national character building", bahwa otonomi daerah dilaksanakan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, yang diharapkan warga negara tetap mengetahui hak dan kewajibannya serta memiliki jiwa patriotisme, religius, cinta tanah air, dan seterusnya. Persoalannya, bagaimana pendidikan dapat mengamankan program pendidikan dengan memberikan peluang kreatifitas dalam keragaman daerah, tetapi semuanya mengarah secara sentripetal ke kepentingan nasional melalui muatan yang sama dalam upaya ke arah pembentukan "national character building" tersebut.
Berdasar dari hal-hal tersebut penulis melihat bahwa perlu cara serta  pemkiran yang matang terkait pendidikan yang dilaksanakan di masing-masing daerah serta konsep pengentasan pengannguran di masyarakat. Sehingga permasalahan penganguran ini bisa diminimalisir beberapa waktu ke depan.
Hal  inilah yang mendorong penulis untuk membuat sebuah karya ilmiah dengan judul “Optimalisasi Otonomi Daerah, Kurikulum dan Pembelajaran “Life Skills Education sebagai Multi Vitamin Wira Usaha Pengentas Penganguran”
2.      Permasalahan
Pendidikan yang dilaksanakan selayaknya memberi andil yang cukup  besar terhadap upaya dalam upaya peningkatan kualitas suatu bangsa termasuk di dalamnya pengentasan pengangguran. Karena pada dasarnya pendidikan  dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan.  Dalam upaya penanggulangan pengangguran sering muncul istilah “pemberdayaan serta peningkatkan  kemampuan untuk melakukan usaha (UU No. 25 Tahun 2004 tentang Propenas). Disinilah permasalahan muncul.
1.      Melalui otonomi daerah, bagaimana seharusnya pendidikan disiapkan?
2.      Bagaimana Konsep dan proses pendidikan daerah dan nasional agar mampu mengurangi angka pengangguran di Serang-Banten pada umumnya serta di Indonesia pada umumnya?
3.      Kerangka berpikir seperti apa yang bisa mengentasan pengangguran?
4.      Bagaimana solusi yang tepat agar pendidikan mampu menunjukan eksistensinya dalam mengentaskan pengangguran?
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah ”Bagaimanakah Seharusnya Otonomi Daerah dan Pendidikan Dijalankan  Demi MengentaskanPengangguran di Banten?”
3.      Tujuan dan Sasaran Karya Ilmiah
Memberikan masukan terkait optomalisasi otonomi daerah serta langkah-langkah pendidikan dalam mengurangi pengangguran di Indonesia-Banten khususya Dinas Pendidikan serta Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja dalam membentuk kerangka berfikir terkai program pengentasan pengangguran.
4.      Metode Penelitian
Pada penyusunan karya ilmiah kali ini, penulis menggunakan metode studi pustaka serta literatu-literatur terkait.
5.      Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan Karya Ilmiah ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini berisi latar belakang; rumusan masalah; tujuan, sasaran dan manfaat penelitian; dansistematika penulisan.
BAB II. KAJIAN TEORETIS. Dalam bab ini dikemukakan teori otonomi daeah, Pendidikan dan Pengangguran yang meliputi: definisi Otonomi daerah, pendidikan, Paradigma baru dalam pendidikan dan pengangguran, jenis Pengangguran dan penyebab Pengangguran,
BAB III. PEMBAHASAN.
Dalam bab ini dibahas deskripsi dan analisis strategi Otonomi daerah, pendidikan dan upaya-upaya pengentasan pengangguran.
BAB IV KESIMPULAN. Dalam bab ini berisi simpulan dan rekomendasi

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN 



BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.    Definisi Otonomi Daerah
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak ,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61) mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah dan kabupaten / kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
a.        Kewenangan Otonomi Luas
Yang dimaksud dengan kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal agama serta kewenangan dibidang lainnya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
b.        Otonomi Nyata
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup dan berkembang di daerah.
c.        Otonomi Yang Bertanggung Jawab
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang sehat antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9 tentang Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem hubungan antara pusat dan daerah yaitu :
  • Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu
  • Tugas perbantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.

1.      Daerah Otonom
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasl 1 ayat 6 menyebutkan bahwa daerah otonomi selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Profesor Oppenhein (dalam Mohammad Jimmi Ibrahim, 1991:50) bahwa daerah otonom adalah bagian organis daripada negara, maka daerah otonom mempunyai kehidupan sendiri yang bersifat mandiri dengan kata lain tetap terikat dengan negara kesatuan. Daerah otonom ini merupakan masyarakat hukum yaitu berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2.      Hakekat, Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah
a.        Hakekat Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat dibututuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
b.       Tujuan Otonomi Daerah
Menurut Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dam memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:
  • Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
  • Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
  • Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Selanjutnya tujuan otonomi daerah menurut penjelasan Undang-undang No 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.
B.     Definisi Pendidikan
Dalam perspektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam,  bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat semakin memperkaya khazanah berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan teori itu sendiri.
Tetapi untuk kepentingan kebijakan nasional, seyogyanya pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan mudah  dipahami oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap praktik pendidikan.
Untuk mengatahui  definisi pendidikan  dalam perspektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan   operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan definisi di atas, penulis menemukan 3 (tiga) pokok pikiran  utama yang terkandung di dalam kerangka pokok pikiran pendidikan, yaitu: (1) usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang mampu mendorong peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berikut  ini akan dikemukakan secara singkat ketiga pokok pikiran tersebut.
1. Usaha sadar dan terencana.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual).  Oleh karena itu, di setiap level manapun,  kegiatan pendidikan harus  disadari dan direncanakan, baik dalam tataran  nasional (makroskopik),  regional/provinsi dan kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) maupun  operasional (proses pembelajaran  oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas),  pada dasarnya setiap kegiatan  pembelajaran pun harus direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI  No. 41 Tahun 2007.  Menurut Permediknas ini bahwa  perencanaan proses pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.
2. Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya
TEORI BELAJAR
BEHAVIORISTIK
KOGNITIF
HUMANISTIK
SIBERNETIK
Pada pokok pikiran yang kedua ini penulis teringat tentang Aliran aliran dalam teori belajar





Behavioristic yang berpendapat bahwa perubahan tingkahlaku itu akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Tokoh aliran ini antara lain:
 a) Thorndike (1911) berpendapat bahwa interaksi stimulus dan respon menimbulkan perubahan tingkahlaku baik konkrit (bisa diamati) maupun nonkonkrit (tidak bisa diamati). Alirannya disebut “Connectionism”.
b) Watson berpendapat bahwa stimulus dan respon tersebut harus berbentuk tingkahlaku yang konkrit. Sedangkan perubahan perilaku yang abstrak diabaikan karena perilaku abstrak itu tidak bisa diukur atau diamati.
Sedangkan Teori Kognitif berpendapat bahwa tingkahlaku seseorang ditentukan oleh “Persepsi” atau pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya. Oleh karena itu, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman ini tidak selalu dapat dilihat sebagaimana perubahan perilaku. Menurut  teori ini, pengetahuan itu dibangun melalui proses kebermaknaan keseluruhan sesuatu dari pada bagian-bagian.
Teori pembelajaran lainnya adalah Humanistik. Teori  ini mengatakan bahwa belajar harus bermuara pada manusia itu sendiri. Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang mencakup tiga kawasan (taksonomi Bloom) yaitu:
(1)   Kognitif, meliputi 6 tingkatan yaitu: (a) pengetahuan (mengingat, menghapal); (b) pemahaman; (c) aplikasi; (d) analisis; (e) sintesis; (f) evaluasi.
(2)   Afektif meliputi 5 tingkatan yaitu: pengenalan; (b) merespon; (c) penghargaan; (d) pengorganisasian; (e) pengamalan.
(3)   Psikomotor, meliputi 5 tingkatan yaitu: (a) peniruan; (b) penggunaan(menggunakan konsep untuk melakukan gerak); (c) ketepatan; (d) perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar); (e) naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
Teori belajar yang ke empat adalah Teori belajar sibernetika dianggap teori baru. Teori ini berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi. Teori ini berpendapat bahwa belajar merupakan pengolahan informasi. (Syadeli Hanafi: Filsafat Pendidikan dan Paradigma Baru Pndidikan)
Dari pendapat tersebut bisa penulis melihat bahwa Proses pendidikan yang mengerucut menjadi pengajaran harus menghasilkan perubahan tingkah laku. Melihat adanya pengerucutan istilah pendidikan menjadi pembelajaran.  Jika dilihat secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata (persekolahan).  Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran kedua ini, penulis menangkap pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang bercorak pengembangan (developmental) dan humanis, yaitu berusaha mengembangkan segenap potensi didik, bukan bercorak pembentukan yang bergaya behavioristik.  Selain itu, saya juga  melihat  ada dua kegiatan (operasi) utama dalam pendidikan: (a) mewujudkan  suasana  belajar, dan (b) mewujudkan  proses pembelajaran.
a. Mewujudkan  suasana  belajar
Berbicara tentang  mewujudkan suasana pembelajaran, tidak dapat dilepaskan dari upaya menciptakan lingkungan belajar,  diantaranya  mencakup: (a)  lingkungan fisik, seperti: bangunan sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK, taman sekolah dan lingkungan fisik lainnya; dan (b) lingkungan sosio-psikologis (iklim dan budaya belajar/akademik), seperti: komitmen, kerja sama, ekspektasi prestasi, kreativitas, toleransi, kenyamanan, kebahagiaan dan aspek-aspek sosio–emosional lainnya, lainnya yang memungkinkan peserta didik untuk melakukan aktivitas belajar.
Baik lingkungan  fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, keduanya didesan agar peserta didik dapat secara aktif  mengembangkan segenap potensinya. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, di sini tampak jelas bahwa keterampilan guru  dalam mengelola kelas (classroom management) menjadi amat penting. Dan di sini pula, tampak bahwa peran guru lebih diutamakan sebagai fasilitator  belajar siswa .
b. Mewujudkan  proses pembelajaran
Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan untuk menciptakan kondisi dan  pra kondisi  agar siswa belajar, sedangkan proses pembelajaran lebih mengutamakan pada upaya bagaimana  mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi siswa. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, maka guru dituntut  untuk dapat mengelola pembelajaran (learning management), yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian  pembelajaran (lihat  Permendiknas RI  No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses). Di sini, guru lebih berperan sebagai agen pembelajaran (Lihat penjelasan PP 19 tahun 2005), tetapi dalam hal ini saya lebih suka menggunakan istilah manajer pembelajaran, dimana guru bertindak  sebagai seorang planner, organizer dan evaluator pembelajaran)
Sama seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran,  proses pembelajaran pun seyogyanya  didesain agar peserta didik dapat secara aktif  mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, dengan mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) dalam bingkai model dan strategi  pembelajaran aktif (active learning), ditopang oleh peran guru sebagai fasilitator  belajar.



3. Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok pikiran yang ketiga ini, merupakan pokok pikiran filsafat yang didalamnya terdapat faham realisme, idealisme, rasionalisme serta empirisme. (Syadeli Hanafi: Filsafat Pendidikan dan Paradigma Baru Pndidikan)
Ke-empat aspek tersebut menggambarkan bahwa pendidikan haruslah bermula dari sebuah ide imajinatif yang inovatif, revolusioner dan berkembang. Selanjutnya dari imajinasi hasil karya pikir tersebut diejawanthkan dalam proses kenyataan dilapangan dengan mempertimbangkan aspek rasional yang dibekali pengalaman serta pebuktian berlanjut (continue).
selain merupakan bagian dari definisi pendidikan sekaligus  menggambarkan  pula  tujuan pendidikan nasional kita , yang  menurut hemat saya sudah  demikian lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan yang mencari keseimbangan  diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan karakter, dengan melihat pokok pikiran yang ketiga  dari definisi pendidikan  ini  maka sesungguhnya pendidikan karakter sudah implisit dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru.
Selanjutnya  tujuan-tujuan  tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan  di bawahnya menjadi tujuan-tujuan yang lebih kecil dan terperinci dan dioperasionalkan melalui tujuan  pembelajaran yang  dilaksanakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Ketercapaian tujuan – tujuan  pada tataran operasional  memiliki arti yang strategis  bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan  uraian di atas,  kita melihat bahwa dalam definisi pendidikan yang  tertuang  dalam UU No. 20 Tahun 2003, secara jelas menggambarkan bukan hanya “apa pendidikan itu,  tetapi jauh didalamnya memiliki makna dan implikasi yang luas tentang  siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa  peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan.
C.    Definisi Kurikulum
1.      Menurut George A. Beaucham (1976), kurikulum sebagai bidang studi membentuk suatu teori yaitu teori kurikulum. Selain sebagai bidang studi kurikulum juga sebagai rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem (sistem kurikulum) yang merupakan bagian dari sistem persekolahan.
2.      Menurut Hilda Taba (1962), Kurikulum sebagai a plan for learning, yakni sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh siswa. Sementara itu, pandangan lain mengatakan bahwa kurikulum sebagai dokumen tertulis yang memuat rencana untuk peserta didik selama di sekolah.(Hilda Taba ;1962 dalam bukunya “Curriculum Development Theory and Practice).
3.      Nengly and Evaras (1976), Kurikulum adalah semua pengalaman yang direncanakan yang dilakukan oleh sekolah untuk menolong para siswa dalam mencapai hasil belajar kepada kemampuan siswa yang paling baik.
4.      J. Galen Saylor dan William M. Alexander dalam buku Curriculum Planning for Better Teaching on Learning (1956), menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut” The curriculum is the sum totals of schools efforts to influence learning, whether in the class room, on the play ground, or out of school. Jadi segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah, atau di luar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan ekstra kulikuler.
5.      J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku school improvement. Menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tanaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasi dan hal-hal structural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemingkinan memilih mata pelajaran.
            Dengan pengertian dari beberapa tokoh tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah suatu program pendidikan yang di rencanakan, di programkan, dan di rancang sedemikian rupa secara sistematis yang berisi bahan ajar serta pengalaman belajar sehingga dalam program pendidikan memiliki arah dan tujuan yang akan di capai dan dari hasil yang di capai kita dapat merevisi ulang dan mengembangkan program pendidikan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya sehingga suatu kurikulum pembelajaran dapat di katakan selalu berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pendidikan.
D.    Definisi Life Skills
Istilah Kecakapan Hidup (life skills) diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis, 2003).
Brolin (1989) menjelaskan bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience”. Dengan demikian life skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti : membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi (Satori, 2002).
Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills) lebih luas dari sekedar keterampilan bekerja, apalagi sekedar keterampilan manual. Pendidikan kecakapan hidup merupakan konsep pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan warga belajar agar memiliki keberanian dan kemauan menghadapi masalah hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya.
Indikator-indikator yang terkandung dalam life skills tersebut secara konseptual dikelompokkan : (1) Kecakapan mengenal diri (self awarness) atau sering juga disebut kemampuan personal (personal skills), (2) Kecakapan berfikir rasional (thinking skills) atau kecakapan akademik (akademik skills), (3) Kecakapan sosial (social skills), (4) Kecakapan vokasional (vocational skills) sering juga disebut dengan keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu dan bersifat spesifik (spesifik skills) atau keterampilan teknis (technical skills).
Menurut Jecques Delor mengatakan bahwa pada dasarnya program life skills ini berpegang pada empat pilar pembelajaran yaitu sebagai berikut:
  1. Learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan).
  2. Learning to do (belajar untuk dapat berbuat/bekerja).
  3. Learning to be (belajar untuk menjadi orang yang berguna).
  4. Learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain)
E.     Definisi Pengangguran :
Menurut Ida Bagoes Mantra, pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang sekarang ini tidak bekerja dan sedang aktif mencari pekerjaan. Konsep ini sering diartikan sebagai keadaan pengangguran terbuka.
Menurut Dumairy Pengangguran adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan (masih atau sedang) mencari pekerjaan.
Masalah yang sering dihadapi adalah masalah setengah menganggur atau pengangguran tidak kentara, yang pengertiannya adalah sebagai berikut :
1.      Setengah menganggur
Keadaan setengah menganggur (underemployment) terletak antara full employment dan sama sekali menganggur. Pengertian yang digunakan ILO, Underemployment yaitu perbedaan antara jumlah pekerjaan yang betul dikerjakan seseorang dalam pekerjaannya dengan jumlah pekerjaan yang secara normal mampu dan ingin dikerjakannya. Konsep ini dibagi dalam :
a.       Setengah menganggur yang kentara
Setengah menganggur yang kentara (visible underemployment) adalah jika seseorang bekerja tidak tetap (part time) di luar keinginannya sendiri, atau bekerja dalam waktu yang lebih pendek dari biasanya.
b.      Setengah menganggur yang tidak kentara
Setengah menganggur yang tidak kentara (invisible underemployment) adalah jika seseorang bekerja secara penuh (full time) tetapi pekerjannya itu dianggap tidak mencukupi karena pendapatannya terlalu rendah atau pekerjaan tersebut tidak memungkinkan ia untuk mengembangkan seluruh keahliannya.
2.      Pengangguran tidak kentara
Pengangguran tidak kentara (disguised unemployment), dalam angkatan kerja mereka dimasukkan dalam kegiatan bekerja, tetapi sebetulnya mereka menganggur jika dilihat dari segi produktivitasnya. Jadi di sini mereka sebenarnya tidak mempunyai produktivitas dalam pekerjaannya. Misalnya mereka terdiri dari 4 orang yang bersama-sama bekerja dalam jenis pekerjaan yang sesungguhnya dapat dikerjakan oleh 3 orang sehingga 1 orang merupakan ‘disguised unemployment’.
3.      Pengangguran Friksional
Pengangguran friksional yaitu pengangguran yang terjadi akibat pindahnya seseorang dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan akibatnya harus mempunyai waktu tenggang dan berstatus sebagai penganggur sebelum mendapatkan pekerjaan yang lain tersebut.
Menurut Lincolin Arsyad (1999: 35), untuk memperoleh pengertian sepenuhnya tentang arti penting dari masalah ketenagakerjaan (employment) di perkotaan, kita harus memperhitungkan pula maslah pertambahan pengangguran terbuka yang jumlahnya lebih besar yaitu mereka yang kegiatannya aktif bekerja tetapi secara ekonomis sebenarnya mereka tidak bekerja secara penuh (underutilized). Untuk mengelompokkan masing-masing pengangguran, menurut Edgar O. Edward (tahun 1974 ) buku Ekonomi Pembangunan (Lincolin Arsyad, 1999: 35) perlu diperhatikan dimensi-dimensi:
1.      Waktu (banyak di antara mereka yang bekerja lebih lama, misalnya jam kerjanya per hari, per minggu, atau per tahun).
2.      Produktivitas (kurangnya produktivitas seringkali disebabkan oleh kurangnya sumber daya-sumber daya komplementer Untuk melakukan pekerjaan).
3.      Intensitas pekerjaan (yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi makanan)
Bentuk pengangguran :
Menurut Edgar O. Edward (tahun 1974 ) Pengangguran dibagi kedalam 5 Bentuk :
1.      Pengangguran terbuka : baik sukarela (mereka yang tidak mau bekerja karena mengharapkan pekerjaan yang lebih baik) maupun secara terpaksa (mereka yang mau bekerja tetapi tidak memperoleh pekerjaan).
2.      Setengah menganggur (underemployment): yaitu mereka yang bekerja lamanya (hari, minggu, musiman) kurang dari yang mereka biasa kerjakan.
3.      Tampaknya bekerja tetapi tidak bekerja secara penuh: yaitu mereka yang tidak digolongkan sebagai pengangguran terbuka dan setengah pengangguran, termasuk di siniadalah:
a. Pengangguran tak kentara (disguised unemployment) Misalnya para petani yang bekerja di lading selama sehari penuh, apdahal pekerjaan itu sebenarnya tidak memerlukan waktu selama sehari penuh.
b. Pengangguran tersembunyi (hidden unemployment) Misalnya oaring yang bekerja tidak Sesuai dengan tingkat atau jenis pendidikannya.
c. Pensiun lebih awal Fenomena ini merupakan kenyataan yang terus berkembang di kalngan pegawai pemerintah. Di beberapa negara, usia pensiun dipermuda sebagai alat menciptakan peluang bagi yang muda untuk menduduki jabatan di atasnya.
4.      Tenaga kerja yang lemah (impaired): yaitu mereka yang mungkin bekerja full time, tetapi intensitasnya lemah karena kurang gizi atau penyakitan.
5.      Tenaga kerja yang tidak produktif : yaitu mereka yang mampu untuk bekerja secara produktif tetapi karena sumber daya-sumber daya penolong kurang memadai maka mereka tidak bisa menghasilkan sesuatu dengan baik.
Penyebab Pengangguran
Sektor pendidikan dan keahlian acap kali dijadikan kambing hitam dalam penyebab maraknya pengguran di indonesia. Memang ada benarnya, tetapi yang menjadi faktor tingginya tingkat pengangguran di indonesia bukan hanya disebabkan oleh satu sektor saja melainkan banyak faktor lain yang menmupuk kesuburannya. Beberapa penyebab tingginya angka pengngguran di Indonesia adalah
1.      Pola Pikir masyarakat indonesia ketika mengirim anknya kesekolah, mereka sekonyong-konyong pasrah dan tak berdaya untuk mengoreksinya terhadap kurikulum sekolah tanpa mengetahui sejara jelas tujuan serta arah dari kurikulum tersebut.(Anne Ahira)
2.      Ketidakseimbangan antara Permintaan (demand) dan penawaran (Supply) lapangan kerja bagi Masyarakat
3.      Rendahnya Kualitas Sumber daya manusia (SDM) serta miss match antara tenaga kerja dengan kualifikasi yang diminta penyedia kerja. (Trimo Yulianto)
4.      Ketidaksiapan masyarakat untuk membuat peluang dengan berwira usaha
Hal-hal tersebut di atas menjadi aspek yang memberikan sumbangsih yang tinggi dalam pengangguran di indonesia.





















BAB III
PEMBAHASAN
Otonomi Daerah dan Pendidikan
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004).
Tentang desentralisasi ini ada beberapa konsep yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut.
1.        Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, judikatif, atau administratif (Encyclopedia of the Social Sciences, 1980).
2.        Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi, di mana sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan (Soejito, 1990).
3.        Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari pernerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi (Mardiasmo, 2002).
4.        Desentralisasi adalah sehagai pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umurn yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil lceputusan pengaturan pernerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu (Hoogerwerf, 1978).
5.        Decentralization is the transfer of planning, decision inaking, or ndnlinistrative authority from the central government to its field organizations, local and administrative units, setni autonomous and pcrastatal organizations, local government, or nongoverrirnental ornanizatioais (Rondinelli clan Chcema, 1983: 77).
6.        Pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses desentralisasi unisan-urusan pemerintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagian diserahkan kepada pernerintah daerah agar menjacli urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada clan menjadi wewenang clan tanggung jawab pernerintah daerah (Koswara, 1996).
7.        Desentralisasi atau mendesentralisasi pemerintahan bisa berarti merestrukturisasi atau mengatur kembali kekuasaan sehingga terdapat suatu sistem tanggung jawab bersama antara institusi-institusi pemerintah tingkat pusat, regional, maupun lokal sesuai dengan prinsip subsidiaritas. Sehingga meningkatkan kualitas keefektifan yang menyeluruh dari sistem pemerintahan, dan juga meningkatkan otoritas dan kapasitas tingkat subnasional (UNDP, 2004: 5).
Dari beberapa konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi merupakan adanya penyerahan wewenang urusan-urusan yang semula menjacli kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusanurusan tersebut.
Secara politis, desentralisasi dalam pengertian devolusi dilakukan untuk memenuhi tuntutan golongan minoritas yang menuntut otonomi dalarn vvilayahnya. Semakin tinggi praktikpraktilc diskriminasi, akan semakin kuat menciptakan tuntutan akan otonomi.
Desentralisasi juga dapat dipakai sebagai alat untuk mcmobilisasi dukungan terhadap kebijakan pembangunan nasional dengan menginformasikannya kepada masyarakat (Lurah untuk menggalang partisipasi di dalam perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya di daerah. Partisipasi lokal dLipat digalang melalui keterlibatan dari berbagai kepentingan sepcrti kepentingan-kepentingan politik, agama, suku, kelompok-kelompok profesi di dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan oleh pemerintah daerah (Oentarto, et.al., 2004: 20). Bagaimanapun, secara politis keberadaan pemerintah daerah sangat penting untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan daerah.
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam scluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, fiskal/moneter, dan agama, serta kewenangan lain yang diatur secara khusus. Selain itu, semuanya menjadi kewenangan daerah, termasuk salah satunya bidang pendidikan. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi clan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Kewenangan pengelolaan pendidikan berubah dari system sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kcpada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan (Abdul Halim, 2001: 15).
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah clan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.         penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya;
2.         penetapan standar materi pelajaran pokok;
3.         penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik;
4.         penctapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan;
5.         penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa;
6.         penetapan persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfataan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi;
7.         pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, clan monumen yang diakui secara internasional;
8.         penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah;
9.         pengaturan dan pengembangan pendidikap tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional;
10.     pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Sementara itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa clan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan/ atau tidak mampu;
2. penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah;
3. mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis;
4. pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi;
5. penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan clan/ atau penataran guru;
6. penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah clan nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.

Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya, kalau desentralisasi bidang-bidang pemerintahan lain berada pada pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, maka desentralisasi di bidang pendidikan tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan. Dalam praktik desentralisasi pendidikan itulah maka dikembangkanlah yang dinamakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan manajemen berbasis sekolah, sebenarnya merupakan kecenderungan internasional yang dipraktikkan di banyak negara (Brady, 1992), clan untuk Indonesia merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan dan sumber daya manusia yang helakangan ini dirisaukan banyak pihak, terutama bila dilihat dari beberapa laporan hasil survei dari lembaga-lembaga independen dunia, menempatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia pacla urutan bawah, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapore, Malaysia, Thailand, dan bahkan Philipina.
Dalam konteks desentralisasi ini, peran serta masyarakat sangat diperlukan. Aparatur pendidikan baik di pusat tnaupun di daerah, berperan penting dalam peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas masyarakat untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional. Salah satu sasaran pembangunan adalah mewujudkan desentralisasi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Titik berat desentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota. Oleh karena itu, peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah amatlah mendasar pcranannya, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang mendapat pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mcndorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pcndidikan. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa desentralisasi di bidang pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya yang berhenti pada tingkat kabupaten/kota. Di bidang pendidikan justru sampai pada pelaksana teknis atau ujung tombak pendidikan, yaitu sekolah-sekolah.

B. STRATEGI DAN PROGRAM PENDIDIKAN DALAM UPAYA PENGENTASAN PENGANGGURAN
Adanya permasalahan dan penyebab terjadinya pengangguran yang terkait secara lagsung maupun tidak langsung menuntut sebuah strategi dan program-program yang dianggap mampu mengupayakan pengentasan pengangguran yang ada di Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan Herbert Spencer (1860) yang menganalisis tujuan pendidikan dalam lima bagian, yang berkenaan dengan:

1. Kegiatan demi kelangsungan hidup.
2. Usaha mencari nafkah.
3. Pendidikan anak.
4. Pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan negara.
5. Penggunaan waktu senggang.

Tidaklah salah jika pendidikan adalah aspek yang sangat sering menjadi sorotan, karena disadari atau tidak pendidikan menjadi satu modal yang utama dalam membangun sebuah peradaban dan perkembangan sebuah bangsa.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik. (http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting /2245802-sistematika-penulisan-karya-tulis-cara/#ixzz1pRKtYHdS)
Sejalan dengan hal tersebut, sejenak kembali kita mengingat konsep restorasi Meiji, manabu (belajar), maneru (meniru), dan nusumu (mencuri). Restorasi Meiji inilah sebagai katalis dalam kemajuan Jepang menuju negara industri maju. Keberhasilan Restorasi Meiji ini diakui dunia tidak ada bandingannya di seluruh dunia. Dalam jangka waktu hanya sekitar 30 tahunan telah berhasil membawa Jepang dari negara terisolasi, terbelakang dan tradisional menjadi negara maju yang kompetitif dengan negara-negara barat.
Restorasi Meiji ini juga telah melahirkan tokoh-tokoh yang amat berpengaruh bagi kemajuan Jepang seperti Fukuzawa Yukichi tokoh modernisasi pendidikan Jepang, Dalam era Restorasi Meiji ini ia mampu memberi pengaruh yang amat besar, yang hingga kini mampu menggerakkan masyarakat Jepang untuk mencari ilmu dan terus belajar.
Perubahan yang begitu besar bagi masyarakat Jepang ini juga tidak terlepas dari mental model manusia Jepang yang memang telah lama diwarisi dan terbentuk oleh mental Bushido atau jalan hidup samurai (kerja keras, jujur, ikuti pemimpin, tidak individualis, tidak egois, bertanggung jawab, bersih hati, harus tahu malu).Selain itu konsistensi karakter manusia Jepang baik dirumah, sekolah maupun di masyarakat, juga berpengaruh bagi terwujudnya social order yang nampak otomatis dimiliki manusia Jepang. Realitas bangsa Jepang yang sungguh-sungguh memberikan kontribusi dan menolong manusia lainya.
Sebuah konsep perubahan bangsa yang membawa masyarakat dan bangsa Jepang menjadi dominan di Asia bahkan dunia. Konsep ini pulalah yang selayaknya diciptakan dalam masyarakat kita. Harus ada perubahan yang mendasar dalam pola pikir, kebiasaan hidup serta budaya. Karena perubahan adalah sebuah keniscayaan, perubahan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya perubahan maka dapat dipastikan bahwa manusia tidak akan bertahan. Bagitu juga dengan konteksnya dalam masyarakat. Masyarakat yang tidak mau berubah tidak akan mampu menghadapi perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, yang ada mereka akan tertinggal dan terus tertinggal.
Melihat kepada keberhasilan manusia dan masyarakat Jepang yang cukup menarik perhatian umat manusia karena berbagai hal, bangsa Jepang telah membelalakkan mata dunia dengan menjadi bangsa yang pilih tanding dalam kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang juga mampu mereformasi pendidikan secara menyeluruh yang disesuaikan dengan dunia Barat.
Keberhasilan Jepang sekarang ini tidaklah dapat dipisahkan dari kebangkitan bangsa Jepang dari keterpurukannya sebelum lahirnya era terang yang sering disebut sebagai “Restorasi Meiji”. Bangsa Jepang sebelum Restorasi Meiji adalah bangsa yang penuh carut marut konflik sosial dan konflik antar kelompok, termasuk carut marut ekonomi. Peristiwa Restorasi Meiji 1868 adalah sejarah agung manusia Jepang sesudah carut marut politik itu. Restorasi Meiji menjadi sejarah besar yang pengaruhnya begitu abadi bagi bangsa Jepang hingga saat ini.
Sejalan dengan hal itu, pendidikan memiliki tugas paradigma Sosial dalam pembangunan. Peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara umum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat  yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosial ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran  dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma ini telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal.
Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan  yang bersifat analis-mekanistis  dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme  dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang  yang dapat dipecah-pecah  dan dipisah-pisah satu dengan  yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan  yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah  dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan  untuk menyesuaikan  dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum,  dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input  dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses  yang baik  dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem  yang bersifat mekanik  yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana  yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas  dan salah. Implikasinya, sistem  dan praktek pendidikan  yang mendasarkan pada paradigma pendidikan  yang keliru cenderung tidak akan sesuai  dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses  yang utuh  dan bersifat organik  yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak  dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention  dan innovation,  yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan,  yang bersifat terpisah  dan berada di atas dunia  yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan  dan penentu perkembangan dunia  yang lain, khususnya,  dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide  dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik  dan metode akan dikembangkan,  dan tenaga kerja  dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.
Sesuai  dengan peran pendidikan sebagai engine of growth,  dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan  yang paling tepat adalah single track  dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan  untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja  yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien  dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur  yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh  dengan pengetahuan  dan teori-teori (text bookish). Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak  dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi  dan teknologi,  dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial,  dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik. Berbagai problem pendidikan  yang muncul tersebut di  atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan  yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan  yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan  yang mendasar  dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis.
Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat  dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan  yang diperlukan  untuk memasuki sistem teknologi produksi artikel ini disalin dari yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis  yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai  dengan kebutuhan  yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi  yang cepat, justru melahirkan apa  yang disebut  dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja  dengan keahlian  yang lebih sederhana  dengan jumlah tenaga kerja  yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional  dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab  dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi  dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan yang monoton bukanlah engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan  untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma fungsional  dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas  yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya  dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah  dan produktivitas tidak selalu seiring. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini  yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return  dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan  dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi  yang lebih tinggi  untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan  dan kemampuan individual  yang diperlukan  untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan  dan kemampuan  yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan  untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja  dengan pendidikan formal  yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan  dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan  dan keahlian  yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.
Dari berbagai uraian tersebut dapat difahami bahwa peran Pendidikan begitu besar dalam upaya mengentas pengangguran. Namun pendidikan tidak akan mampu berbicara banyak jika tidak didukung oleh aspek-aspek lain. Aspek-aspek pendukung keberhasilan itu adalah:
1.      Pendidikan sebagai Engine of Growth

Pendidikan sebagai Engine of Growth maka Pendidikan berperan sebagai mesin penggerak roda pembangunan dan pertumbuhan  harus sejalan dengan peningkatan ekonomi, karena dengan peningkatan kekuatan ekonomi, anggaran pendidikan serta pemerataannya akan tumbuh.( Mardimin, Johanes  1996).

2.      Peran Pemerintah Pusat, Daerah dan Masyarakat


Peran pemerintah dalam menunjang pendidikan yang dikemas sebagai pengentas pengangguran sangat dominan. Segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan dapat disesuaikan sesuai tujuan pendidikan yang diemban.
Kebijakan pemerintah bisa berupa anggaran pendidikan, kurikulum, standar Pendidik serta manajemen yang ada dalam lembaga yang ada kaitannya denga dunia pendidikan.
Ketika berkaitan dengan alokasi dana  yang bersumber dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah harus lebih proporsional dengan menitikberatkan pada Pendidikan keterampilan hidup (life skill), hal ini sejalan dengan pengembangan Sekolah Kejuruan yang digagas pemerintah. Asalkan adanya penguatan dari dalam  maupun dari luar pemerintah.
 Dalam penentuan kurikulum pemerintah beserta lembaga pendidikan sebaiknya menyusun kurikulum  dibuat bukan hanya dalam ruang lingkup formal, tetapi dengan memberdayaka masyarakat dan dunia industri. Hal ini menuntut adanya keselarasan antara pihak sekolah dengan masyarakat dan dunia industri, khususnya dalam penyusunan kurikulum.




3.      Perubahan Pola Pikir dan Mentalitas
Disadari atau tidak pengangguran Pendidikan yang dilaksanakan harus mampu mengubah pola pikir masyarakat, yang monoton (pola siap kerja menjadi siap berwira usaha. Tingkatkan mentalitas dan etos kerja yang profesional. Dengan mental yang baik akan tercipta dunia kerja yang kondusif sehingga mampu menekan pengangguran.





















BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Pendidikan sebagai satu asset pembangun bangsa harus bersinergi dengan pemerintah. Keselarasan antara keduanya akan mampu membawa dampak yang positif terhadap perkembangan bangsa. Jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah harus seiring seirama dengan konsep pendidikan yang dilaksanakan di daerah, dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat.

























DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan.
Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis
dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Conyers, Diana. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Terjemah:
Susetiawan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Efendi, Tadjuddin Noer. 1993. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan
Kemiskinan. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Friedmann, John. 1987. Planning in The Public Domain: From Knowledge to
Action. Oxford, UK: Princeton University.
Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan: Perkembangan
Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Khairuddin. 1992. Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Kunarjo. 2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi Daerah - Reformasi, Perencanaan, Strategi
dan Peluang. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Lewis, John P. dan Valeriana Kallab (Eds). 1987. Mengkaji Ulang Strategi-
Strategi Pembangunan. Terjemah: Pandam Guritno. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Mandelbaum, Seymour J., Luigi Mazza dan Robert W. Burchell (Eds). 1996.
Explorations in Planning Theory. New Jersey: Center for Urban Policy
Research.
Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mardimin, Johanes (ed). 1996. Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Mikkelsen, Britha. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya
Pemberdayaan. Terjemah: Matheos Nalle Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. 2000. Metode Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta:
Penerbit Rake Sarasin.
______________. 2004. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation
Research: Integrasi Penelitian, Kebijakan dan Perencanaan.
Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Nasution, Lutfi I. (ed). 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di
Indonesia- 70 Tahun Prof. Sajogyo. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nugroho, Iwan dan Rokhmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah- Perspektif
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Remi, Sutyastie Soemitro dan Prijono Tjiptoherijanto. 2002. Kemiskinan dan
Ketidakmerataan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Ridlo, Mohammad Agung. 2001. Kemiskinan di Perkotaan. Semarang: Penerbit
Unissula Press.
Rusli, Said (ed). 1995. Metodologi Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin:
Suatu Tinjauan dan Alternatif. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Utama
dan Institut Pertanian Bogor.
Soegijoko, Budi Tjahjati S. dan BS Kusbiantoro (ed). 1997. Bunga Rampai
Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Bandung: Yayasan Soegijanto
Soegijoko.
Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Suharto, Edi (ed). 2004. Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial- Studi Kasus
Rumah Tangga Miskin di Indonesia. Bandung: STKS Press.
Suparlan, Parsudi. 1994. Kemiskinan di Perkotaan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.






BIODATA PENULIS

Nama                           : Mulkilah
NIP                             : 198409072010011008
TMT bertugas              : 01 Januari 2010                    
TTL                             : Serang, 07 September 1984
Alamat                                    : Puri Regency, Blok B.4 No. 6 Cipocok Serang
Tempat tugas               : SMK Negeri 5 Kota Serang
No. KTPE                   : 3604190709840001
Email                           : mulkilah@gmail.com
Phone                          : 087805686863